KPK di Ambang Kematian Kata Abraham Samad, Gimana Menurut Kamu?

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

KPK di Ambang Kematian Kata Abraham Samad, Gimana Menurut Kamu?

Friday, September 13, 2019
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad mengatakan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menempatkan Lembaga Anti Korupsi pada ambang kematian.

Ada sekitar enam poin penting dalam rancangan RUU yang membuat KPK setidaknya ditangguhkan animasi.

"Setidaknya, ada enam poin krusial dari rencana revisi UU KPK. Beberapa di antaranya akan membuat KPK ditangguhkan animasi," kata Abraham saat dikonfirmasi oleh SP, Jumat (6/6/2019).

Abraham mengungkapkan enam poin penting ini. Pertama, KPK ingin dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum yang berada di eksekutif atau cabang kekuasaan pemerintah atau di bawah Presiden dan karyawan KPK adalah pegawai negeri sipil negara bagian (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.

Kedua, persoalan penyadapan. Dikatakan, revisi ini mensyaratkan penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK.

Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya sesuai dengan hukum acara pidana. Keempat, masing-masing lembaga, kementerian, dan lembaga harus melakukan laporan tentang aset administrasi negara (LHKPN) sebelum dan sesudah berakhirnya masa jabatan.

KPK di Ambang Kematian Kata Abraham Samad, Gimana Menurut Kamu?
Abraham Samad
Kelima, ada organ yang disebut Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dewan Pengawas KPK, yang terdiri dari lima orang, dibantu oleh organ pelaksana pengawasan.

Keenam, revisi tersebut memungkinkan KPK untuk menghentikan penyelidikan dan penuntutan korupsi jika penyelidikan dan penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu maksimum satu tahun.

"Titik revisi pertama, kedua, kelima dan keenam, jelas akan membuat animasi KPK ditangguhkan," katanya.

Abraham menekankan, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif, maka status independen KPK akan otomatis hilang. Padahal kemandirian adalah syarat utama pembentukan badan atau lembaga antikorupsi.

Menurutnya jika KPK berada di bawah eksekutif, maka Badan Anti Korupsi akan bekerja untuk mengikuti program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain di bawah otoritas eksekutif. Ini akan membuat KPK mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan terhadap praktik korupsi.

"KPK juga akan berbenturan dengan Kejaksaan yang desain konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam 'perjuangan untuk pengaruh'. Pada akhirnya jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, hanya bekerja pada tugas mencegah korupsi, tidak lagi , "jelasnya.

Abraham melanjutkan, revisi UU KPK juga bertujuan melumpuhkan sistem kolektif kolegial kepemimpinan KPK dalam mengambil keputusan dengan memperluas saluran penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas.

Abraham menilai bahwa perumus naskah revisi UU KPK tidak mengetahui SOP investigasi, termasuk penyadapan di KPK. Ini karena dalam SOP KPK, untuk melakukan penyadapan, izin harus melewati banyak tabel seperti kepala Satuan Tugas, direktur penyelidikan, wakil penuntutan, kemudian meja lima pemimpin.

Dengan demikian sistem kolegial kolegial kelima dari Pemimpin KPK adalah bagian dari sistem pengawasan.

"Sangat tidak perlu melibatkan lembaga lain yang akan memperpanjang saluran penyadapan dengan risiko bocor sebelum dilakukan," katanya.

Abraham mempertanyakan urgensi pembentukan organ yang disebut Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Menurutnya, KPK saat ini memiliki dewan penasihat.

Jika alasannya adalah untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan wewenang, tidak ada yang bisa menjamin bahwa Dewan Pengawas nantinya akan bebas dari kepentingan.

Apalagi, katanya, KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penegakan internal jika ada pimpinan atau karyawan yang menyalahgunakan kewenangannya.

"Ada Pengawas Internal (PI) yang menerapkan standar SOP 'nol toleransi' untuk semua peserta ujian, tidak terkecuali kepemimpinan. Sistem kolektif kolegial dari lima pimpinan KPK juga merupakan bagian dari pengawasan satu sama lain. Plus, jika ada adalah pelanggaran berat yang dilakukan oleh pimpinan, kode etik dapat dibentuk untuk memprosesnya, "jelasnya.

Lebih lanjut Abraham menyatakan, memberikan kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus yang berumur satu tahun sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kantor Kejaksaan dan Polisi yang sering disorot oleh masyarakat sipil.

Selain itu, katanya, sejauh ini KPK selalu berhasil mempertahankan bukti di setiap sesi Pengadilan Tipikor bahkan tanpa wewenang SP3.

"Karena proses investigasi, investigasi dan penuntutan di KPK terhubung" satu atap "di satu wakil, Deputi Penegakan. Jadi, KPK tidak boleh disuruh berkompromi dengan kasus-kasus korupsi yang diselidiki dengan memberikan wewenang kepada masalah SP3, "jelasnya.

Dengan berbagai pertimbangan ini, Abraham menekankan bahwa tidak ada kepentingan hukum yang mendesak untuk merevisi UU KPK selain kepentingan politik. Alih-alih merevisi UU KPK yang akan mendapat reaksi keras dari publik, Abraham meminta DPR untuk menyelesaikan berbagai tagihan yang telah menunggak di DPR.

"DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan dalam undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, daripada mengutak-atik undang-undang KPK dan akan menghadapi publik," katanya.

Sumber : Suara Pembaharuan